Frame Work Survei Karakter



Pengembangan karakter siswa dalam proses pendidikan di Indonesia telah dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Khususnya pada pasal 3 yang menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha  Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga  negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Selanjutnya, sebagai gerakan nyata untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berkarakter maka diterbitkanlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.

Gerakan penguatan pendidikan karakter tidak terlepas dari upaya mempersiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045. Pada tahun 2045 yang bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, Indonesia diharapkan dapat menjadi negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur. Untuk mencapai impian tersebut, Rokhman et al. (2014) berpendapat bahwa Indonesia memerlukan pendidikan yang mendukung pengembangan karakter seperti kejujuran, nasionalisme, toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman, nilai demokrasi, dan kepatuhan hukum. Oleh karena pendidikan karakter dianggap sebagai modal utama dalam mencapai generasi emas Indonesia tahun 2045, maka pendidikan karakter tidak bisa dibebankan menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja. Perlu ada sinergi antar berbagai pihak secara utuh dan menyeluruh agar tercapai pemahaman lintas budaya antara budaya lokal, nasional dan global, demi mewujudkan masyarakat yang memiliki sikap dan perilaku yang lebih baik (Malihah, 2015).

Kontribusi lembaga pendidikan dalam mengembangkan karakter siswa sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, walaupun secara formal istilah tersebut belum dimunculkan dalam kurikulum 1946 maupun 1957. Istilah pendidikan kewargaan negara atau kewarganegaraan pertama kali muncul dalam program kurikuler pada kurikulum SMA sejak 1962 berupa mata pelajaran Civics. Kondisi ini terus berkembang hingga kemunculan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada 1994 (Wibowo & Wahono, 2017). Namun, sejak diberlakukannya Kurikulum 2013, pengembangan karakter siswa tidak hanya dibebankan pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan melainkan juga diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lainnya. Tidak mengherankan apabila pengembangan karakter siswa dapat dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung (Affian & Maksum, 2020; Eriawan et al., 2017; Sulianti et al., 2019). Selain melalui pembelajaran,  pengembangan karakter juga dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan  ekstrakurikuler yang diikuti oleh siswa (Faradiba & Royanto, 2018; Gazali et al., 2019; Hasanah, 2019).  Keberhasilan proses pendidikan karakter memang dapat menguatkan karakter yang dikembangkan seperti kendali diri, saling menghargai, jujur, keterampilan sosial, dan penilaian moral (Jeynes, 2017). Namun, keberhasilan pendidikan karakter tidak terlepas dari beberapa faktor salah satunya adalah kesiapan guru dalam pendidikan karakter. Penelitian yang dilakukan oleh Waters dan Russell (2014) menunjukkan bahwa keyakinan guru dalam melaksanakan pendidikan karakter dapat berdampak terhadap keberhasilan pendidikan karakter yang dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari peran guru yang dianggap sebagai model dan mentor dalam mengembangkan karakter siswa (Arthur, 2011). 

Keseriusan dalam penguatan karakter siswa melalui pendidikan juga diwujudkan dengan dirancangkannya Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila terdiri atas  enam karakter utama yaitu 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa  dan berakhlak mulia, 2) gotong royong, 3) kreativitas, 4) nalar kritis, 5) kebinekaan global, dan 6) kemandirian. Karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia dapat dioperasionalisasikan menjadi akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara.  Implementasi penguatan pendidikan karakter akan menjadi program yang berjalan begitu saja apabila tidak ada proses asesmen terhadap perkembangan  karakter siswa. Asesmen terhadap perkembangan karakter dapat berguna untuk  proses evaluasi keberhasilan pendidikan karakter, pemantauan perkembangan karakter siswa, dan umpan balik untuk meningkatkan program pendidikan karakter yang dilaksanakan. Hal ini tidak terlepas dari fungsi asesmen dalam pendidikan yaitu Assessment as Learning (AaL), Assessment for Learning (AfL), dan Assessment of Learning (AoL). Ketiga fungsi asesmen dalam pendidikan perlu ditinjau secara koheren sebagai upaya membangun budaya penilaian yang memfasilitasi proses belajar siswa secara maksimal (Schellekens et al., 2021). Bahkan, beberapa peneliti menekankan bahwa hendaknya pelaksanaan asesmen dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan pada setiap sekolah (Chen et al., 2019;  Hofer et al., 2020; van der Bij et al., 2016). Berdasarkan penjelasan di atas mengenai urgensi asesmen perkembangan karakter siswa maka diperlukan suatu survei yang dapat menilai perkembangan karakter siswa di seluruh Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan semangat pelaksanaan Asesmen Nasional yang telah dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun 2021. Asesmen Nasional dirancang untuk mendapatkan informasi mengenai pencapaian kompetensi literasi dan numerasi (Asesmen Kompetensi Minimum), kondisi pembelajaran berdasarkan penilaian siswa, guru, dan kepala sekolah (Survei Lingkungan Belajar), serta karakter siswa. Oleh karena itu, sebagai upaya mendapatkan informasi mengenai perkembangan karakter siswa maka diperlukan pengembangan Survei Karakter Siswa. Pengembangan Survei Karakter Siswa diharapkan dapat menghasilkan alat ukur yang tepat untuk mengukur perkembangan karakter siswa sebagai salah satu capaian pembelajaran. Ketepatan suatu alat ukur dapat memberikan informasi yang akurat mengenai konstruk yang diukur sehingga hasil dari pengukurannya dapat lebih bermakna. Apalagi hasil dari Survei Karakter Siswa dapat digunakan sebagai umpan balik untuk terus meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan penguatan karakter siswa.  Pengembangan Survei Karakter Siswa mengacu pada Profil Pelajar Pancasila. Namun, pada pengembangan Survei Karakter Siswa kali ini belum mengikutsertakan akhlak beragama dan akhlak pribadi karena beberapa pertimbangan. Akhlak beragama mengacu pada pemahaman mengenai sifat-sifat Tuhan dan menghayati bahwa inti dari sifat-sifat-Nya adalah kasih dan sayang. Penghayatan atas sifat-sifat Tuhan menjadi landasan dalam pelaksanaan ritual ibadah atau sembahyangnya sepanjang hayat. Namun, seperti yang diketahui bahwa Indonesia mengakui enam 

agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu serta serangkaian aliran kepercayaan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam mengukur karakter akhlak beragama karena indikator perilaku dari masing-masing agama dapat berbeda-beda. Selain itu, selama ini pengukuran atas akhlak beragama cenderung mengacu pada salah satu agama tertentu seperti skala religiositas untuk umat Muslim (Abdollahzadeh Rafi et al., 2020; Abu-Rayya et al., 2016; Olufadi, 2017), umat Kristiani (Brambilla et al., 2014; Gonçalves et al., 2016; Lamborn & Steinberg,  1993), dan umat Buddha (Stanford & Jong, 2019). Oleh karena itu, pengukuran  terhadap karakter beragama dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran agama yang diikuti oleh setiap siswa di Indonesia yang sesuai dengan agama yang dianut.  Pertimbangan yang lain adalah akhlak beragama dapat dimanifestasikan pada akhlak yang lain terutama akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara. Hal ini dikarenakan setiap agama mengajarkan sikap dan perilaku yang baik terhadap sesama manusia, pada alam, dan partisipasi sebagai warga negara. Terlebih beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa individu yang cenderung religius akan memiliki sikap yang positif dan toleransi terhadap perbedaan agama (Brambilla et al., 2013; Shaver et al., 2016). Selain itu, internalisasi terhadap agama yang dianut juga dapat mendorong individu untuk memiliki kepedulian terhadap pelestarian alam (Begum et al., 2021; Eom et al., 2021; Preston & Baimel, 2021). Tidak hanya itu, penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa individu yang beragama cenderung menunjukkan perilaku yang mengarah pada keterlibatan sebagai warga negara yang baik (Kim & Wilcox, 2013; Lewis et al., 2013; Wallman LundÃ¥sen, 2021). Berbeda dengan akhlak beragama, akhlak pribadi tidak diikutsertakan dalam Survei Karakter Siswa dikarenakan masih perlu koordinasi lebih lanjut dengan instansi negara yang lainnya. Hal ini dikarenakan akhlak pribadi berkaitan dengan sikap integritas dan kemampuan merawat diri sendiri. Siswa di Indonesia yang memiliki sikap integritas diharapkan menampilkan tindakan yang konsisten dengan apa yang dikatakan dan dipikirkan dengan bersikap jujur, adil, rendah hati, dan berperilaku penuh hormat. Hal ini sejalan dengan tujuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang ingin mengembangkan sikap integritas, salah satunya melalui pendidikan karakter pada jenjang sekolah dasar hingga pendidikan anak usia dini. Selain itu,

kemampuan merawat diri erat kaitannya dengan Kementerian Kesehatan karena perwujudan dari kemampuan merawat diri yaitu siswa di Indonesia senantiasa menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritualnya. Harapannya melalui koordinasi lebih lanjut dengan instansi negara yang lain, pengukuran terhadap akhlak pribadi pada siswa di Indonesia semakin komprehensif dan integratif.  Berdasarkan pertimbangan di atas maka pada Survei Karakter Siswa kali ini terdapat enam karakter yang diukur pada siswa di Indonesia. Adapun enam karakter tersebut meliputi 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, 2) gotong-royong, 3) kreativitas, 4) nalar kritis, 5) kebinekaan global, dan 6) kemandirian. Namun karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia hanya berfokus pada akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara.




sumber : https://pusmendik.kemdikbud.go.id/

Related Posts

0 Komentar untuk Produk Asesmen Terstandar